Selamat Datang

Lingkungan Tropis adalah majalah ilmiah dalam bidang lingkungan dan telah terakreditasi LIPI. Silakan berpendapat dan saling tukar pikiran dalam forum ini demi peningkatan prestasi dalam menjaga kelestarian alam bumi pertiwi.

Friday, May 14, 2010

PEMANFAATAN KOMPOR MATAHARI SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF UNTUK MEMASAK


Mahalnya harga BBM yang ditimbulkan karena kelangkaan minyak bumi dan tingginya harga minyak dunia, telah mendatangkan dampak yang buruk bagi masyarakat. Dampak tersebut diantaranya adalah kelangkaan minyak tanah. Minyak tanah adalah salah satu bahan bakar yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia ini. Sepanjang tahun Indonesia mempunyai energi cahaya matahari yang belum dimanfaatkan secara optimal. Energi cahaya tersebut dapat dipakai untuk memasak. Penelitian ini untuk membuktikan. Lebih cepat mana memasak dengan menggunakan alat masak yang terbuat dari almunium, besi dan tanah ?
Kompor matahari terbuat dari cermin yang dibentuk seperti parabola prinsip kerjanya memakai hukum pemantulan cahaya menuju titik fokus dengan diameter 191 cm seperti pada gambar terbukti dapat untuk praktek menggoreng krupuk bahan yang sama, dilakukan pada bulan 28 Maret 2009 pada jam 12.00 WIB. Ternyata waktu masaknya berbeda hasilnya berbeda. Berturut-turut yang paling cepat matang adalah : wajan tanah, < 3menit, wajan besi = 3 menit dan wajan almunium > 3 menit. Dan untuk merebus air lebih cepat mendidih pada panci yang hitam.


Lianah
Fakultas Tarbiyah Tadris Biologi IAIN Walisongo Semarang
E-mail: lianahkuswanto@yahoo.co.id.

Monday, May 3, 2010

FORAMINIFERA; MEIOBENTIK PENCIRI LINGKUNGAN

Foraminifera adalah organisme satu sel yang sudah memiliki kemampuan untuk membangun cangkang kalsit dengan arsitektur yang rumit. Amoeba adalah kerabat dekat foraminifera yang belum memiliki cangkang sebagai pelindung protoplasmanya. Cangkang foraminifera terutama yang hidup sebagai organism bentik sangatlah menakjubkan, dengan ukuran berkisar antara 5 μ hingga beberapa sentimeter. Jenis-jenis bentik memiliki bentuk cangkang yang rumit, namun ratusan variasi morfologi cangkang tersebut berkembang dari 5 bentuk dasar. Dari kelima bentuk dasar tersebut berkembang berbagai modifikasi model susunan kamar maupun susunan pelapisan struktur dinding cangkang menjadi cangkang dengan arsitektur yang lebih kompleks. Berdasarkan tipe dinding cangkang, foraminifera dapat dibagi menjadi 3, yaitu cangkang pasiran (arenaceous), gampingan tanpa pori (porcelaneous) dan gampingan berpori (hyalin). Jenis bercangkang pasiran biasa ditemukan di lingkungan yang ekstim seperti perairan payau atau laut dalam. Disebut pasiran karena kenampakkan permukaan cangkang terlihat kasar seperti taburan gula pasir. Jenis gampingan tanpa pori biasa hidup soliter dengan membenamkan cangkangnya ke dalam sedimen kecuali bagian mulutnya (aperture) yang muncul ke arah permukaan sedimen. Pada cangkang dewasa, kenampakan jenis porcellaneous tampak seperti jambangan porselen dengan bentuk kamar bersegi atau lonjong. Jenis gampingan berpori merupakan jenis yang memiliki variasi bentuk cangkang sangat banyak seperti lampu kristal dengan ornamen rumit, bening dan berkilau. Sebaran foraminifera sangat luas yaitu mulai dari perairan tawar, payau, laut dangkal hingga laut dalam. Berdasarkan cara hidupnya foraminifera dibagi menjadi 2, yaitu foraminifera planktonik dan bentik. Jenis-jenis bentik hidup di lapisan permukaan sedimen hingga kedalaman beberapa puluh sentimeter, sedangkan jenis planktonik hidup mengapung di dalam kolom air. Sebaran jenis bentik sangat luas yakni hampir di seluruh tipe perairan, namun demikian masing-masing tipe perairan dicirikan oleh assemblage (komunitas) yang berbeda. Foraminifera planktonik tersebar luas di laut-laut terbuka dengan kedalam air lebih dari 10 meter. Dengan ukuran mikroskopis, cangkang keras, sebaran geografis dan sebaran geologis luas, taksa ini sangat potensial digunakan sebagai petunjuk kondisi suatu lingkungan, baik pada masa kini maupun masa lalu. Hingga saat ini kalangan ahli geologi masih menggunakan foraminifera sebagai petunjuk lingkungan purba. Foraminifera planktonik biasa digunakan untuk mengetahui umur relative suatu lapisan/batuan. Bolli (1957), Berger & Winterer (1974) dan Berggeren (1972) telah menyusun biokronologi batuan berdasarkan keberadaan foraminifera planktonik penciri. Foraminifera bentik yang hidup di lapisan permukaan sedimen dasar perairan sehingga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro maupun lingkungan makronya, oleh karena itu jenis-jenis ini digunakan oleh para ahli geologi sebagai penciri lingkungan pengendapan. Yang dimaksud dengan lingkungan pengendapan oleh para ahli geologi adalah tipe perairan, sebagai contoh perairan payau, laut dangkal, laut dalam, abisal, batial dlsb. Penggunaan foraminifera secara luas dalam eksplorasi minyak oleh para ahli geologi dimulai sejak paska perang dunia I, saat revolusi industri dimulai, pada saat itu dunia membutuhkan sumber minyak untuk berbagai aktivitas ekonomi. Dengan demikian walaupun foraminifera merupakan organisme hidup, namun perkembangan penelitian foraminifera di berbagai belahan dunia lebih banyak dilakukan oleh para ahli geologi hingga saat ini. Tahun 1955 Bradshaw telah memulai pengamatan foraminifera hidup, dilanjutkan oleh Schnitker pada tahun 1974 dan Hallok (1987). Hallok menemukan hubungan simbiosis antara beberapa jenis foraminifera bentik besar (yang berukuran lebih dari 1 mm) dengan beberapa jenis ganggang bersel tunggal. Dari penemuannya tersebut dapat diketahui bahwa foraminifera bentik berukuran besar yang biasa ditemukan di daerah terumbu karang atau perairan dangkal terbuka memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan nitrisinya. Dalam simbiosa tersebut cangkang foraminifera yang transparan berperan sebagai akuarium bagi ganggang bersel satu karena selain menyediakan tempat terlindung dari dinamika air juga menjamin ketersediaan sinar matahari untuk proses fotosintesa. Aspek penelitian yang berhubungan dengan pencemaran saat ini telah berkembang sejalan dengan makin berkembangnya peralatan laboratorium. Alve, Yanko, Debenay, Vilela, telah lama mengamati pengaruh berbagai cemaran terhadap perkembangan foraminifera bentik. Samir, Bijma dan Erez, saat ini tengah mengembangkan teknik bioassay pada foraminifera sebagai organisme uji dengan menggunakan berbagai jenis cemaran dan beberapa perlakuan yang berubungan dengan perubahan iklim seperti kenaikan keasaman dan temperatur air. Samir (2000) menemukan bahwa peningkatan temperatur air akan merubah perputaran kamar pada Ammonia becarrii. Samir dan Din (2001) juga telah menemukan perubahan cangkang pada Ammonia akibat bertambahnya keasaman air yaitu terganggunya pertumbuhan cangkang hingga terhentinya proses kalsifikasi selama perioda tertentu atau terjadi secara permanen. Bijma (1999; 2002) dan Erez (2003) yang telah memfokuskan pengamatan pada respon peningkatan keasaman air pada foraminifera bentik besar dan foraminifera planktonik dan menghasilkan kesimpulan yang sama yakni peningkatan keasaman akan mengurangi bobot cangkang dan mengganggu proses kalsifikasi. (Ricky Rositasari)

Wednesday, February 10, 2010

Seminar Ilmiah Nasional


Seminar Ilmiah Nasional Tahunan pertama kali diadakan di ITB pada tahun 2005. Pada saat itu Tema seminar adalah "Penelitian Masalah Lingkungan di Perguruan Tinggi". Walaupun baru dimulai, peserta seminar dengan membawa makalah sudah mencapai kurang lebih 80 makalah. Makalah berasal dari berbagai jurusan di ITB, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Diponegoro, Universitas Pancasila, Universitas Sriwijaya, Universitas Andalas, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), UGM, IPB, Universitas Sahid Jakarta, ITENAS Bandung, UNPAS Bandung, BPPT, LON LIPI, LIPI Geotek, Puslitbang Pemukiman, Puslitbang Air. Makalah yang dipresentasikan diterbitkan dalam Jurnal Teknik Lingkungan Edisi Khusus 2005 dan Edisi regular.

Ilmiah Nasional Kedua diadakan di ITB pada tahun 2006. Tema seminar tetap sama dengan seminar sebelumnya yaitu "Penelitian Masalah Lingkungan di Perguruan Tinggi". Pada kesempatan ini, makalah terkumpul sebanyak 100 lebih dengan sebaran asal atau instansi pemakalah lebih baik.


Seminar ketiga diadakan di Universitas Indonesia Kampus Depok. Seminar kali ini dihadiri oleh pemakalah yang tidak kalah banyaknya dan berasal dari berbagai isntansi dan perguruan tinggi.


Ilmiah IATPI ke empat diadakan di Universitas Trisakti pada tahun 2008 kampus Grogol Jakarta pada tahun 2008. Seminar ini dihadiri oleh banyak peserta yang melebihi seratus pemakalah dan juga para guru besar dari berbagai universitas dan guru besar riset dari berbagai lembaga penelitian.


Seminar Ilmiah Nasional IATPI ke lima diadakan di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Lingkungan UNDIP kampus Tembalang pada Tanggal 6 Agustus 2009. Pemakalah berdatangan dalam jumlah yang tidak diduga banyaknya. Kualitas presentasi jauh lebih baik dan para peserta sudah saling kenal karena kita selalu bertemu setiap tahun.


Seminar Ilmiah Nasional IATPI ke enam diadakan di Program Magister Ilmu Lingkungan UNUD kampus Denpasar pada tanggal 29 Juli 2010. Pemakalah berasal dari lebih 40 perguruan tinggi dan lembaga pemerintah. Presentasi diadakan secara berdampingan 8 kelas. Setelah seminar, banyak peserta memanfaatkan waktu berlibur ke beberapa tempat wisata di Denpasar dan sekitarnya. Suatu seminar yang sangat mengesankan.
Seminar ke 7 di Institut Teknologi Sepuluh November pada tanggal 22 Juni 2011. Seminar Berjalan sukses. Dengan 120 makalah berasal dari lebih dari 60 universitas dan instansi di Seluruh Indonesia.

Sunday, January 17, 2010

Prosiding: Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2011

Prosiding Seminar Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2011 berisi kumpulan makalah yang dipresentasikan di Seminar ke 7 di Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Penerbitan prosiding ini terlambat karena banyaknya pemakalah yang lambat merespon email redaktur. Hal ini terjadi pada umumnya: kesibukan penulis, sedang tugas dilapangan, atau jaringan internet terganggu. Pengurus Lingkungan Tropis sedang menggodok cara-cara terbaik agar hal ini tidak terulang kembali. Mudah-mudahan pada seminar 2012 di UGM 12 Juli nanti, pemakalah diharapkan mengirimkan makalah sesuai format Lingkungan Tropis dan penjurian kemudian merespon redaktur dengan cepat.