Selamat Datang

Lingkungan Tropis adalah majalah ilmiah dalam bidang lingkungan dan telah terakreditasi LIPI. Silakan berpendapat dan saling tukar pikiran dalam forum ini demi peningkatan prestasi dalam menjaga kelestarian alam bumi pertiwi.

Monday, June 11, 2012

Mampukan Penelitian Masalah Lingkungan meningkatkan Taraf Kehidupan Manusia

Sdh banyak penelitian lingkungan berhasil ditulis dan dipublikasikan. Sdh puluhan bahkan ratusan juta sdh Kita keluarkan utk atas nama proyek penelitian yg berakhir publikasi. Rasa rasanya derita kaum miskin krn kondisi lingkungan tropis pun tidak mentas mentas dari kemiskinan. Kesehatan kaum miski terus semakin buruk di bumi nusantara, dan itu sdh rahasia umum. Shg penelitian Kita selama ini hanya budaya utk membangun wacana sj tanpa terkait dg masalah atau pun menyelesaikan masalah riil. Ilmu utk ilmu, ilmu utk kenaikan derajat kita, ilmu utk karier dan Status sosial kita. Sodaqoh ilmu kita pun terbatas utk kalangan kelompok kita sendiri. Saya pun melakukan seperti itu. Budaya Akademik Kita pun lebih banyak krn atas nama proyek proyek drpd budaya meningkatkan kapasistas masyarakat bangsa Kita sendiri. Kita pun rame rame mengimpor ilmu dari barat utk kedigdayaan keilmuaan kelompok Kita atau kekuasaan akademik Kita, sedihnya lagi ilmu yg mahal investasinya tsb harus jadi publikasi publikasi yg mahal dan on.line yg jauh dari harapan penyelesaian masyarakat terpinggirkan. Makin hari, Republik ini di penuhi dg Orang Orang pinter dg setumpuk atau ribuan publikasi, pd saat yg sama ketahanan masyarakat terhadap pangan, gizi, kerentanan terhadap perubahan iklim makin tidak terjangkau dg menumpuknya hasil penelitian kita kita ini. Apa yg salah? Atau krn kurang sinergi? Atau jauhnya kekuasaan dari peneliti.? 
Sdh keliling Indonesia melihat kemiskinan, tapi tidak mampu berbuat apa apa...

Salam, agus hendratno / teknik geologi ugm

3 comments:

  1. Komentar Pak Agus ini terasa membangunkan kita dari mimpi-mimpi indah tentang tulisan ilmiah yang dibuat sekedar untuk memuaskan hasrat keilmuan kita atau hanya mengejar dan mengumpulkan credit point. Mohon maaf apabila kurang berkenan, tapi rasanya saya setuju dengan pendapat Pak Agus, dengan catatan bahwa publikasi tulisan ilmiah menurut saya tetap perlu diteruskan dan disebarluaskan, tapi perlu diimbangi dengan aplikasinya, yang hasilnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, syukur-syukur kalau bisa mengentaskan masalah-masalah akut di masyarakat. Masalahnya, antara hasil penelitian dan aplikasinya kadang tidak nyambung, karena tidak ada entrepreneur yang memanfaatkan hasil penelitian untuk diaplikasikan dalam produk-produk yang bisa dimanfaatkan masyarakat.

    Karena saya bukan dari kalangan akademisi, saya mencoba menerapkan apa yang saya tulis, dan menuliskan apa yang saya kerjakan, sehingga produknya insya Allah bisa dimanfaatkan masyarakat luas. Saya sedang mencoba membuat saringan air keramik untuk pengolahan air skala rumah tangga, dan hasilnya alhamdulillah cukup menjanjikan.

    Salam,
    Risyana Sukarma
    Yayasan Tirta Indonesia Mandiri
    www.tirtacupumanik.com

    ReplyDelete
  2. Hanya kekhawatiran saya secara pribadi sebagai geologist melihat kondisi lapangan tentang berbagai kerusakan infrastruktur, budaya kemiskinan yang jauh dari adaptasi terhadap perubahan iklim, namun sbg peneliti saya (dan mungkin sebagian dari kita) hanya mampu menuangkan dalam berbagai tulisan ilmiah dalam jurnal, prosiding, seminar-seminar. Berhenti sampai disini, krn memang kita sebagai peneliti.

    Saya baru saja pulang mengantar 5 mhswa geologi ugm untuk sampling stream sediment di beberapa sungai besar di Kalteng, saya menjumpai berbagai ketidakmampuan sistem birokrasi (termasuk kita sebagai kalangan peneliti / akademikus) tentang degradasi tutupan lahan yang kaya akan keanekaragaman hayati, karena konversi tanaman sejenis, karena konversi illegal dari penggalian pasir.

    Alangkah indahnya kalau karya penelitian bidang lingkungan ini bisa dipahami dan dimaknai dan mampu menginspirasi para pengambil keputusan untuk menggerakan strategi green policy yang membumi dan kongkret, tidak sekedar wacana dan wacana. Saya sangat takut, bahwa otoritas pemerintah bidang lingkungan hidup dari pusat sampai di daerah hanya sebagai pelengkap penderita dalam tata pemerintahan.

    Akhir akhir ini ada beberapa kelompok akademisi dan juga peneliti dan praktisi dari sektor informal (kalangan pondok pesantren tradisional) mengkampanyekan gerakan "EKOSUFISME" sebagai ideologi baru dalam mengakulturasikan kesadaran moral / spiritual dalam menggerakan sustainability di sekitar kita. Prinsipnya berangkat dari bahwa "merusak lingkungan sama dengan merusak hubungan manusia dengan Tuhan" atau memutus silahturahmi sesama makhluk Tuhan. Modal sosial dan modal spiritual yang dimiliki kelompok pesantren tradisional menjadi faktor penting dalam proses mitigasi lingkungan. Dalam EKOSUFISME, bahwa kebersamaan secara Ilahiyah, juga harus menjaga kebersamaan secara insaniyah dan alamiyah. Dalam segitiga Emas terkait Ekosufisme sering juga disebut "Menuhankan Tuhan", "Memanusiakan Manusia" dan Meng-alam.kan alam". Eksistensi menjaga lingkungan sesugguhnya memupuk maqom spiritual kita sendiri sebagai bagian dari alam itu sendiri. Dalam hal mitigasi lingkungan, prinsip "Meng.alam.kan alam" adalah kesadaran yang paling hakiki. Lingkungan / alam selama ini adalah obyek yang "selalu" untuk dieksploitasi, bukan ditempatkan sebagai kodrat alam / lingkungan itu sendiri.
    Dll..., kearifan lokal karena faktor budaya dan peradaban yang berkelanjutan di masa lalu mulai ditinggalkan, krn berkejaran dengan upaya "mengeksploitasi alam" secara berlebihan atas nama kemajuan peradaban / pertumbuhan ekonomi.

    salam lestari, agus hendratno

    ReplyDelete
  3. Tujuan saya unutk mengirimkan situs tentang perubahan iklim dan dampak pada kesehatan hanyalah salah satu usaha saya untuk membagi pengetahuan dan pengalaman yang saya pelajari selama merantau ("ngulandara" kata orang Jawa, melalui kadang-kadang kerikil-keikil tajam!) di Australia dan sekarang di A.S tanpa ada pamrih pribadi. Karena jaringan kerja saya kebanyakan ada di A.S., mungkin saja juga saya dapat ikut membicarakan masalah-masalah lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia.

    Ada rekan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kebanyakan hanya untuk mempertinggi martabat akademis dengan menulis makalah-makalah yang tidak membantu memperbaiki kehidupan masyarakat "kecil dan umum" yang makin terpuruk. Saya kira ini tergantung pada tujuan perorangan untuk apa sebenarnya pengetahuan yang sering-sering dikembangkan di dunia akademis.

    Saya sendiri bekas dosen (ITB, asisten mengajar Universitas Adelaide, dosen Univeritas Vanderbilt) dan pernah bekerja sebagai peneliti di perusahaan minyak dan Departemen Energi A.S., jadi kuli dan mandor (sampai sekarang masih berkala menjadi mandor mengerjakan proyek konsultansi menangani pencemaran air tanah, dengan memberikan makanan dalam bentuk minyak goreng kedele ke bakteri-bakteri yang membantu menguraikan senyawa pelarut pencemar dalam air tanah - ini bukan riset sok-sokan akademis, tetapi usaha untuk ikut memecahkan salah satu masalah lingkungan yang marak di A.S.). Ini saya katakan bukan untuk "ngecap" atau "umuk" melainkan untuk menjangkau rekan-rekan yang ada di luar atau didalam lingkungan akademis untuk mulai rembukan dengan santai tanpa ada prasangka.

    Ada rekan yang sedang membuat saringan keramik untuk air minum; inipun merupakan suatu usaha yang mungkin saja ada rekan-rekan lainnya yang juga dapat memberikan sumbangan pemikiran (kebetulan juga salah satu keahlian saya adalah mineral lempung dan pernah ikut ngobrol dengan seorang rekan di A.S tentang penggunaan zat arang atau "carbon" dan mineral "zeolite" yang di Indonesia juga ada, sebagai penyaring untuk air minum rumah-tangga.)

    Harapan saya yalah mudah-mudahan kita dapat rembukan dengan santai dan akrab (mungin saja sambil minum kopi) sambil ikut membantu memecahkan masalah lingkungan, dimanapun kita tinggal.

    Inilah sekedar unjuk rembuk saya, sebagai seseorang (AREMA) yang dulu tinggal di Kampung Kauman, belakang masjid di Malang.

    Salam,

    Yo

    ReplyDelete